PENGERTIAN SUARA HATI DAN DOA
2.1 Suara Hati
Dalam diri manusia
pastilah memiliki suara hati yang selalu berperan sebagai pedoman arah dan
tujuan hidup. Suara hati mengarahkan seseorang untuk berpikir dan berperilaku
benar. Suara hati tidak hanya menilai tujuan dan sarana usaha manusia sesuai
dengan arah hidupnya melainkan juga sebagai pedoman dan daya penggerak bagi
tindakan kita. [1] Suara
hati mengajak untuk melakukan sesuatu yang benar dan berusaha untuk menghindar
dari segala perilaku dan perbuatan yang negatif. Sehingga suara hati mengajak
manusia untuk memahami kehendak hati secara lebih jernih.
Suara
hati merupakan perasaan moral dalam diri manusia yang mampu mengarahkan dan
menentukan benar dan buruk suatu perbuatan. Manusia pastilah terikat untuk
menaati suara hati dalam setiap perbuatannya. Maka dari itu ia harus senantiasa
menjaga agar hati nurani tidak membawa kepada pemikiran yang menyesatkan. Suara hati akan menyuruh bila
itu perbuatan baik dan akan melarang jika perbuatan buruk. Suara hati dapat
berperan pada saat tindakan dilakukan. Ia akan terus menyuruh jika perbuatan
itu baik dan melarang jika perbuatan itu buruk. [2]
2.1.1 Pengertian Hati Nurani
Suara hati atau
hati nurani merupakan keputusan akal budi untuk menentukan hal yang baik dan
buruk dari setiap tindakan. Kata “suara hati” berasal dari kata Latin conscientia yang berarti “mengetahui bersama” atau “mengetahui dengan”. Secara tradisional, suara
hati dipahami dalam pengertian psikologis, yaitu “kesadaran”, dan dalam pengertian
moral, yaitu “kesadaran tentang yang benar dan yang buruk”. Dalam bahasa
Yunani, syneidesis, mengandung beberapa
pengertian, yang sama-sama berkonotasi moral “mendengarkan suara hati”.[3] Keduanya berhubungan erat, sebab
manusia dapat dikatakan mempunyai kepribadian yang baik jika perbuatan-perbuatan
kita menunjukkan kualitas moral yang baik. Untuk mencapai hal ini, peran suara
hati sangatlah penting, yaitu untuk membantu kita memutuskan segala hal sesuai
dengan akal sehat dan sesuai dengan hukum Tuhan.
Kesalahan yang
dimiliki oleh manusia adalah, apabila dalam pribadinya tidak mengimani Allah
dalam mendengarkan hati nuraninya. Hati nurani tidak dapat berperan dengan
jernih apabila dalam kehidupannya manusia hidup dengan dosa dan menggangap
bahwa perbuatannya adalah kehendak yang sewajarnya. Akan lebih berbahaya lagi
apabila berbuata dosa telah menjadi kebiasaan sehingga mata hati manusia akan
semakin buta.
Saat manusia melakukan perbuatan buruk, bukan
semata-mata merupakan kehendak hati nuraninya secara sepontan, melainkan hati
nurani yang keliru. Seringkali manusia tidak setia untuk mengelola kehendak
pribadinya sesuai hati nurani yang benar. Saat mencoba menjauhi kehendak hati
nuraninya, manusia mulai menghilangkan kemurnian hati nurani. Hati nurani yang
murni diperoleh saat manusia menghadapkan kepada iman yang teguh akan Allah.
Melalui iman akan Allah hati nurani manusia dibersihkan dari hati nurani yang
keliru.
Menurut Konsili Vatikan II, “Hati nurani adalah inti manusia
yang paling rahasia, sanggar sucinya; di situ ia seorang diri bersama Allah
yang sapaan-Nya menggema dalam batinnya.” Melalui hati nurani manusia berjumpa
dengan Allah sendiri. Manusia dapat berjumpa dengan Tuhan pada saat ia menyelami
lubuk hati yang terdalam. Melalui lubuk hati yang terdalam manusia dapat
berkehendak dengan benar.[4]
2.1.1.1 Menurut Kitab Suci
Hati nurani
merupakan anugerah Tuhan kepada umat manusia. Supaya dapat mendengarkan dan
mengikuti suara hati nurani, orang harus mengenal hatinya sendiri. Di dalam
setiap lubuk hati seseorang bekerjalah hati nurani yang berperan sebagai arahan
hidup. Dalam kehidupannya manusia harus setia menghidupi hati nuraninya seturut
dengan kehendak Tuhan.
Melalui (Kej
3:1-24), saat manusia jatuh ke dalam dosa, dapat dijelaskan bahwa Hawa yang
dengan otaknya menilai keinginan untuk makan buah terlarang sebagai buruk dan
yang hatinya tergerak untuk menolak keinginannya semula. Namun, penilaian otak
diabaikannya sebab suara hatinya lemah sehingga dikalahkan oleh keinginan
semula. Dari hal ini dapat diambil kesimpulan, bahwa Allah tidak langsung
membisikkan suara-Nya kepada manusia, melainkan manusia harus mencari kebenaran
moral. Manusialah yang berperan mempertimbangkan apakah keinginanya sesuai
dengan norma atau tidak. Allah bukanlah yang mempertimbangkan semuanya
melainkan sesudah manusia sampai pada kesimpulan bahwa keinginanya baik atau
buruk, maka Allah merestui keputusan suara hati tersebut.[5]
Kadang-kadang
manusia dihadapkan kepada keputusan untuk melibatkan hati nurani dalam
mengambil suatu keputusan. Dalam Kis 24:16, Paulus senantiasa hidup dengan hati
nurani yang murni di hadapan Allah dan manusia. Paulus mengajarkan agar manusia
hidup seturut dengan kehendak Allah. Manusia harus selalu mencari yang benar
dan yang baik dalam mengetauhi kehendak Allah yang sesungguhnya.
2.1.1.2 Menurut Katekismus Gereja Katolik
Hati
nurani memberikan perintah untuk melakukan suatu yang baik dan menentang yang
jahat. Melalui hati nurani ini manusia menilai apakah perbuatan yang ia lakukan
sesuai dengan kebaikan atau malah menimbulkan dosa. “Hati
nurani adalah keputusan akal budi, dimana manusia mengerti apakah suatu
perbuatan konkret yang ia rencanakan, sedang laksanakan atau sudah laksanakan,
bersifat baik atau buruk secara moral”.[6]
Supaya dapat
mendengarkan dan mengikuti suara hati nurani, orang harus mengenali hatinya
sendiri. Orang harus peka untuk peduli kepada kehendak hati nuraninya sesuai
dengan sikap moral yang benar. Manusia mempunyai kehendak bebas untuk bertindak
sesuai dengan hati nuraninya, dan dengan demikian membuat keputusan moral
secara pribadi. “Janganlah ia dipaksa untuk bertindak melawan suara
hatinya, tetapi jangan pula ia dirintangi untuk bertindak menurut suara hatinya,
terutama dalam hal keagamaan.[7]
2.1.2 Jenis-jenis Suara Hati
Menurut jenisnya hati nurani terbagi dalam dua jenis,
yakni hati nurani retrospektif dan juga prospektif. [8]
Berikut ini akan diutarakan jenis-jenis hati nurani secara lebih menyeluruh:
1.
Hati
Nurani Retrospektif
Pada dasarnya hati nurani retrospektif memberikan
penilaian tentang perbuatan-perbuatan yang telah berlangsung di masa lampau.
Hati nurani ini menilai perbuatan atau kejadian yang sudah lewat, yang
menyatakan bahwa perbuatan yang telah dilakukan itu baik atau tidak baik.
Hati nurani dalam arti retrospektif menuduh atau mencela,
bila perbuatannya jelek dan sebaliknya, memuji atau member rasa puas, bila perbuatan
yang dilakukan itu dianggap baik. Pada intinya jenis hati nurani ini merupakan
semacam instansi kehakiman dalam batin kita tentang perbuatan yang telah
berlangsung.
2.
Hati
Nurani Prospektif
Hati nurani prospektif melihat ke masa depan dan menilai
perbuatan-perbuatan kita yang akan
datang. Dalam hati nurani prospektif aspek negatif nampak terlihat dan lebih
mencolok. Hati nurani prospektif sebenarnya terkandung semacam ramalan. Ia
menyatakan, hati nurani pasti akan menghukum andaikata melakukan perbuatan itu.
Perbedaan antara hati nurani retrospektif dan hati nurani prospektif ini bisa
menampilkan kesan seolah-olah hati nurani hanya menyangkut masa lampau atau
masa depan. Padahal, hati nurani dalam arti yang sebenarnya justru menyangkut perbuatan
yang sedang dilakukan.
2.2 Doa
Banyak orang beranggapan bahwa tidak mungkin untuk
dirinya yang merupakan seorang yang berdosa dapat menjalin relasi baik dengan
Tuhan melalui doa. Ada orang yang merasa rendah diri sehingga ia berpikir tidak
adanya kemungkinan menjalin hubungan melalui doa. Orang yang berdosa bukan
berarti menghilangnya hubungan dengan Tuhan, melainkan kehendak dan niat
pribadilah yang berperan menciptakan relasi dengan Tuhan melalui doa.
Sesungguhnya Tuhan telah mengampuni dosa-dosa mereka apabila mereka percaya
kepada kehendak-Nya.[9] Saat
manusia berada dalam permasalahan hidup, Ia memberikan jalan supaya manusia
memohon pertolongan-Nya, yakni relasi baik dalam doa itu sendiri.
Banyak orang berdoa di dalam setiap budaya dan
kepercayaan akan iman masing-masing. Bahkan terkadang orang yang tidak beriman
sekalipun tertarik untuk meluangkan waktu dengan mengucap doa, entah itu hanya
sebagai ucapan syukur, rasa kagum, atau sedang ada dalam saat-saat susah dan
bermasalah. Doa dapat menjadi bagian dari tanggapan kita terhadap kerinduan
yang menggelisahkan dan sebuah usaha pencapaian kepada kedalaman Tuhan dan diri
kita sendiri untuk menemukan makna yang lebih besar serta kepenuhan hidup kita.[10]
2.2.1
Pengertian Doa
Doa
memiliki banyak arti dan pengertian yang berbeda-beda bagi setiap orang. Doa
bisa jadi dipahami hanya sebagai kebiasaan, luapan syukur atas kebahagiaan,
atau juga sebagai ucapan secara sepontan. Dalam pengertiannya doa berasal dari
kata Arab du’a yang berarti “berkat
permohonan atau tuntutan”.[11]
Ketika manusia berdoa maka ia menerima berkat, menghadapkan permohonan, dan
memberikan tuntutan. Dalam doa, manusia mengharapkan intervansi Tuhan namun doa
sendiri tidak bersifat membebaskan manusia untuk tidak melakukan segala usaha.
Doa menjadi kunci dasar seseorang menjalin relasi baik dengan Tuhan. Doa adalah
hadir di dalam kehadiran Allah, sebab manusia mendekatkan dirinya kepada yang
Ilahi.
2.2.1.1 Menurut
Kitab Suci
Dalam
Perjanjian Baru, doa adalah hubungan yang hidup anak-anak Allah dengan Bapanya
yang tidak terhingga baiknya, bersama putra-Nya Yesus Kristus dan dengan Roh
Kudus. Yesus merupakan seorang teladan sejati dalam hidup doa. Setiap harinya
Ia meluangkan waktu, berada dalam kesunyian dan berdoa kepada Allah Bapa.
Melalui doa, Yesus mendapatkan lagkah dan tuntunan dari Allah sebagai penunjuk
jalan dan terang, sebab Allah akan menyertai Ia dalam masa pembebasan umat
manusia dari kuasa dosa. Sebagai umat kristiani yang percaya pada Tuhan,
selayaknya mampu untuk mengolah kata yang baik dalam berdoa dan mengetauhi
kepada siapa doa itu disampaikan, seperti yang telah Yesus sendiri ajarkan
dalam Injil Lukas 11:2-4;
“Apabila kamu berdoa, katakanlah: Bapa,
dikuduskanlah nama-Mu. Berikanlah kami setiap hari makanan kami yang secukupnya
dan ampunilah kami akan dosa kami, sebab kami pun mengampuni setiap orang yang
bersalah kepada kami; dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan.”
Yesus
adalah guru doa dan Ia membagi pengalaman-Nya sesuai apa yang dihayati-Nya.
Maka Yesus memberikan hal yang paling mendasar mengenai doa[12],
yaitu
Pertama,
hendaknya berdoa secara pribadi di tempat yang sunyi, sepi, jauh dari keramaian
yang tidak dapat dilihat oleh orang, karena di tempat yang penuh dengan
keramaian sulit untuk berkomunikasi dalam doa. Kedua, Allah bukan pribadi yang jauh dengan hidup manusia, melainka
pribadi yang dekat, sekaligus berada bersama manusia. Allah berada dimana saja,
tidak terbatas oleh ruang dan waktu.
Kemudian, ketiga,
Doa yang disampaikan hendaknya singkat atau pendek, sederhana, langsung pada
inti yang dituju dan jangan bertele-tele.[13]
Terlalu banyak permohonan mengakibatkan hilangnya inti pada doa yang dituju. Dengan
lebih dekat pada-Nya, kita akan memberanikan diri untuk berbicara jujur dan
lebih terbuka. Keempat, dengan berdoa
Bapa Kami, seperti yang telah Yesus sendiri ajarkan kepada umat manusia. Seorang
pendoa harus melakukan pemeriksaan batin dan mengakui kesalahan dan
dosa-dosanya. Seperti seorang yang mengaku bersalah dan rendah hati karena akan
menceritakan keluhan-keluhan dalam hidupnya.
Hal
yang paling mendasar dalam doa ini, bukan semata-mata menjadi suatu
keberhasilan dalam hidup doa, melainkan proses hidup doa ini akan sia-sia dan
tidak berarti apabila tidak adanya kemauan dan iman dalam diri setiap pendoa.
Relasi hubungan doa dengan Tuhan secara baik akan menguatkan kehidupan pribadi
dalam perkembangan hidup rohani. Doa semata-mata tidak diucapkan untuk mencari
kesempurnaan pribadi, sebab pada dasarnya doa merupakan ungkapan iman yang
membawa kita untuk semakin beriman.[14]
Yesus senantiasa setia mengajarkan kepada umatnya untuk bertekun dalam hidup
doa, sebab doa mengajak manusia kepada pendalaman iman yang lebih akan Kristus.
2.2.1.2 Menurut Katekismus Gereja Katolik
Pada dasarnya setiap manusia melantunkan
doa sebagai tahap memperoleh anugerah
dari Tuhan. Kisah agung mengenai doa mencapai kesempurnaanya dalam diri Yesus.[15]
Yesus selalu meluangkan waktu dengan berdoa. Dia berdoa sebelum menghadapi dan
menjalani saat-saat penting yang akan terjadi dalam hidup-Nya. Dia juga berdoa
dalam saat sedih dan sukacita saat bersama dengan murid-murid-Nya.
“Doa berarti mengangkat hati kita dan
pikiran kita kepada Allah. Doa merupakan jawaban seluruh pribadi – jiwa, roh,
hati, dan tubuh terhadap persahabatan dengan Allah. (Katekismus Gereja Katolik, No. 2558-2622).[16] Allahlah
yang memanggil manusia untuk menjalin hubungan yang khusus dalam doa tergantung
bagaimana setiap individu dalam menanggapi panggilan Allah tersebut. Di dalam
doa manusia berusaha menyerahkan diri seperti anak kecil agar doa-doa dapat
didengarkan dan agar doa-doa dapat berdaya guna. Maka dari itu manusia berusaha
untuk tetap tekun dalam doa dengan tiga kebenaran yang memberikan hidup dan
memberikan penjelasan mengenai doa: Pertama,
kita dapat selalu berdoa di mana saja dan dalam situasi apapun. Kedua, doa adalah sesuatu yang penting
dan mutlak perlu di dalam hidup kita. Ketiga,
doa dan kehidupan Kristiani berpusat pada kasih Allah dan tidak dapat
dipisahkan dalam hidup kita. [17]
2.2.2 Bentuk-bentuk Doa
Bentuk-bentuk
doa berkembang dalam Gereja perdana, yang berasal dari sumber-sumber-sumber
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, tetaplah harus dijadikan pedoman bagi
kehidupan sekarang. Tradisi gereja menawarkan kepada umat beriman doa yang
beriman secara berkala untuk menumbuhkan doa yang tetap. Dalam tradisi Kristen
sendiri terdapat tiga bentuk pokok ungkapan kehidupan doa: doa lisan, doa
renungan, dan doa batin.
1.
Doa Lisan
Doa lisan
merupakan doa yang berbentuk kata-kata, baik yang dipikirkan maupun yang diucapkan.
Yesus sendiri mengajarkan murid-murid-Nya yang merasa tertarik dengan satu doa
lisan, yakni doa Bapa Kami. Yesus tidak hanya mendoakan doa liturgi dalam sinagoga, melainkan seperti yang telah
ditunjukkan Injil kepada umat manusia. Ia sendiri mengangkat suara, mengucapkan
doa pribadi-Nya. Doa yang Ia lantunkan terbentang dari memuji Bapa dengan penuh
gembira, sampai kepada permohonan dalam sakratul maut di taman Getsmani.[18]
2.
Doa Renungan
Doa renungan
atau meditasi, pada dasarnya mengarah kepada keheningan. Meditasi adalah
merenungkan, menalari, menggali, dan menganalisis sabda Tuhan hingga pesannya
meresap ke dalam hidup dan hati untuk kemudian diungkapkan dalam doa. Meditasi
adalah masuk ke dalam diri agar mampu menghadapi hidup secara utuh.[19]
Sebagai umat Kritiani selayaknya manusia harus mampu mengolah hidupnya
lebih-lebih dalam kehidupan bermeditasi secara teratur. Seseorang yang tidak
dapat mengelola pribadinya dengan keheningan bermeditasi akan merasakan
kekeringan iman. Ia akan menyerupai jalan yang berbatu yang penuh dengan duri-duri,
sebagaimana dikatakan dalam perumpamaan seorang penabur.[20]
3.
Doa Batin
St. Theresia
menggambarkan doa batin sebagai “berbincang-bincang secara akrab dan seringkali
dengan Dia, karena kita tahu bahwa Dia mencintai kita. Dalam doa batin, manusia
mencoba mengatasi bentuk-bentuk doa yang lain dan berusaha mencapai hubungan
yang akrab dengan Kristus sendiri melalui renungan. Doa batin adalah ungkapan
misteri doa yang paling sederhana. Ia memandang Yesus dengan penuh iman,
mendengarkan sabda Allah, dan mencintai tanpa banyak kata. Ia mempersatukan
kita dengan doa Kristus, sejauh ia mengikutsertakan kita dalam misteri-Nya.[21]
Manusia tidak selalu dapat bermeditasi, namun
selalu ada kemungkinan untuk masuk ke dalam doa batin. Langkah untuk masuk ke
dalam doa batin berada di bawah dorongan Roh Kudus, manusia mengarahkan diri
dan seluruh kehendak hidup dengan sadar dalam kediaman Tuhan. Melalui
permenungan batinlah manusia tergerak menghidupkan iman untuk masuk ke hadirat Tuhan.
[1] Dr.
Yan van Paassen,”Suara Hati Kompas
Kebenaran”, ( Jakarta: Obor, 2002), hlm. 2.
[2] Ibid., hlm. 7.
[3]
Denis J. Billy dan James F. Keating,”Suara
Hati dan Doa”, (Yogyakarta: Kaninisius, 2009), hlm. 21.
[5] Ibid., hlm. 3.
[6] Konferensi Waligereja Regio Nusa Tenggara,
Katekismus Gereja Katolik, No. 1778, Ende: Nusa Indah, 2001.
[8] K.
Bertens,”ETIKA”, (Jakarta: Gramedia,
2002), hlm. 54.
[9]
Lih. Kis 10:43.
[10] Sue
Mayfield, “Exploring Prayer”,
(Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm. 6.
[11]
A. Heuken SJ, Ensklopedia Gereja,
(Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2004), hlm. 65.
[13]
Lih Mat 6:7
[14]
Th. Aq. M. Rochadi Widagdo, “Pedoman
Praktis Berdoa”, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 34.
[15]
James A. Griffin,”Ikhtisar Katekismus
Gereja Katolik”, (Jakarta: Obor, 2008), hlm. 118.
[16] Ibid., hlm. 117.
[19]
Th. Aq. M. Rochadi Widagdo,”Meditasi itu
Keheningan”, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 48.