Jumat, 17 April 2015

PENGERTIAN SUARA HATI DAN DOA

2.1       Suara Hati
Dalam diri manusia pastilah memiliki suara hati yang selalu berperan sebagai pedoman arah dan tujuan hidup. Suara hati mengarahkan seseorang untuk berpikir dan berperilaku benar. Suara hati tidak hanya menilai tujuan dan sarana usaha manusia sesuai dengan arah hidupnya melainkan juga sebagai pedoman dan daya penggerak bagi tindakan kita. [1] Suara hati mengajak untuk melakukan sesuatu yang benar dan berusaha untuk menghindar dari segala perilaku dan perbuatan yang negatif. Sehingga suara hati mengajak manusia untuk memahami kehendak hati secara lebih jernih. 
Suara hati merupakan perasaan moral dalam diri manusia yang mampu mengarahkan dan menentukan benar dan buruk suatu perbuatan. Manusia pastilah terikat untuk menaati suara hati dalam setiap perbuatannya. Maka dari itu ia harus senantiasa menjaga agar hati nurani tidak membawa kepada pemikiran yang menyesatkan. Suara hati akan menyuruh bila itu perbuatan baik dan akan melarang jika perbuatan buruk. Suara hati dapat berperan pada saat tindakan dilakukan. Ia akan terus menyuruh jika perbuatan itu baik dan melarang jika perbuatan itu buruk. [2]

2.1.1    Pengertian Hati Nurani
Suara hati atau hati nurani merupakan keputusan akal budi untuk menentukan hal yang baik dan buruk dari setiap tindakan. Kata “suara hati” berasal dari kata Latin conscientia yang berarti “mengetahui bersama” atau “mengetahui dengan”. Secara tradisional, suara hati dipahami dalam pengertian psikologis, yaitu “kesadaran”, dan dalam pengertian moral, yaitu “kesadaran tentang yang benar dan yang buruk”. Dalam bahasa Yunani, syneidesis, mengandung beberapa pengertian, yang sama-sama berkonotasi moral “mendengarkan suara hati”.[3] Keduanya berhubungan erat, sebab manusia dapat dikatakan mempunyai kepribadian yang baik jika perbuatan-perbuatan kita menunjukkan kualitas moral yang baik. Untuk mencapai hal ini, peran suara hati sangatlah penting, yaitu untuk membantu kita memutuskan segala hal sesuai dengan akal sehat dan sesuai dengan hukum Tuhan.
Kesalahan yang dimiliki oleh manusia adalah, apabila dalam pribadinya tidak mengimani Allah dalam mendengarkan hati nuraninya. Hati nurani tidak dapat berperan dengan jernih apabila dalam kehidupannya manusia hidup dengan dosa dan menggangap bahwa perbuatannya adalah kehendak yang sewajarnya. Akan lebih berbahaya lagi apabila berbuata dosa telah menjadi kebiasaan sehingga mata hati manusia akan semakin buta.
Saat manusia melakukan perbuatan buruk, bukan semata-mata merupakan kehendak hati nuraninya secara sepontan, melainkan hati nurani yang keliru. Seringkali manusia tidak setia untuk mengelola kehendak pribadinya sesuai hati nurani yang benar. Saat mencoba menjauhi kehendak hati nuraninya, manusia mulai menghilangkan kemurnian hati nurani. Hati nurani yang murni diperoleh saat manusia menghadapkan kepada iman yang teguh akan Allah. Melalui iman akan Allah hati nurani manusia dibersihkan dari hati nurani yang keliru.
Menurut Konsili Vatikan II, “Hati nurani adalah inti manusia yang paling rahasia, sanggar sucinya; di situ ia seorang diri bersama Allah yang sapaan-Nya menggema dalam batinnya.” Melalui hati nurani manusia berjumpa dengan Allah sendiri. Manusia dapat berjumpa dengan Tuhan pada saat ia menyelami lubuk hati yang terdalam. Melalui lubuk hati yang terdalam manusia dapat berkehendak dengan benar.[4]
2.1.1.1 Menurut Kitab Suci
Hati nurani merupakan anugerah Tuhan kepada umat manusia. Supaya dapat mendengarkan dan mengikuti suara hati nurani, orang harus mengenal hatinya sendiri. Di dalam setiap lubuk hati seseorang bekerjalah hati nurani yang berperan sebagai arahan hidup. Dalam kehidupannya manusia harus setia menghidupi hati nuraninya seturut dengan kehendak Tuhan.
Melalui (Kej 3:1-24), saat manusia jatuh ke dalam dosa, dapat dijelaskan bahwa Hawa yang dengan otaknya menilai keinginan untuk makan buah terlarang sebagai buruk dan yang hatinya tergerak untuk menolak keinginannya semula. Namun, penilaian otak diabaikannya sebab suara hatinya lemah sehingga dikalahkan oleh keinginan semula. Dari hal ini dapat diambil kesimpulan, bahwa Allah tidak langsung membisikkan suara-Nya kepada manusia, melainkan manusia harus mencari kebenaran moral. Manusialah yang berperan mempertimbangkan apakah keinginanya sesuai dengan norma atau tidak. Allah bukanlah yang mempertimbangkan semuanya melainkan sesudah manusia sampai pada kesimpulan bahwa keinginanya baik atau buruk, maka Allah merestui keputusan suara hati tersebut.[5]
Kadang-kadang manusia dihadapkan kepada keputusan untuk melibatkan hati nurani dalam mengambil suatu keputusan. Dalam Kis 24:16, Paulus senantiasa hidup dengan hati nurani yang murni di hadapan Allah dan manusia. Paulus mengajarkan agar manusia hidup seturut dengan kehendak Allah. Manusia harus selalu mencari yang benar dan yang baik dalam mengetauhi kehendak Allah yang sesungguhnya.
2.1.1.2 Menurut Katekismus Gereja Katolik
Hati nurani memberikan perintah untuk melakukan suatu yang baik dan menentang yang jahat. Melalui hati nurani ini manusia menilai apakah perbuatan yang ia lakukan sesuai dengan kebaikan atau malah menimbulkan dosa. “Hati nurani adalah keputusan akal budi, dimana manusia mengerti apakah suatu perbuatan konkret yang ia rencanakan, sedang laksanakan atau sudah laksanakan, bersifat baik atau buruk secara moral”.[6]
Supaya dapat mendengarkan dan mengikuti suara hati nurani, orang harus mengenali hatinya sendiri. Orang harus peka untuk peduli kepada kehendak hati nuraninya sesuai dengan sikap moral yang benar. Manusia mempunyai kehendak bebas untuk bertindak sesuai dengan hati nuraninya, dan dengan demikian membuat keputusan moral secara pribadi. “Janganlah ia dipaksa untuk bertindak melawan suara hatinya, tetapi jangan pula ia dirintangi untuk bertindak menurut suara hatinya, terutama dalam hal keagamaan.[7]
2.1.2   Jenis-jenis Suara Hati
            Menurut jenisnya hati nurani terbagi dalam dua jenis, yakni hati nurani retrospektif dan juga prospektif. [8] Berikut ini akan diutarakan jenis-jenis hati nurani secara lebih menyeluruh:
1.                  Hati Nurani Retrospektif
Pada dasarnya hati nurani retrospektif memberikan penilaian tentang perbuatan-perbuatan yang telah berlangsung di masa lampau. Hati nurani ini menilai perbuatan atau kejadian yang sudah lewat, yang menyatakan bahwa perbuatan yang telah dilakukan itu baik atau tidak baik.
Hati nurani dalam arti retrospektif menuduh atau mencela, bila perbuatannya jelek dan sebaliknya, memuji atau member rasa puas, bila perbuatan yang dilakukan itu dianggap baik. Pada intinya jenis hati nurani ini merupakan semacam instansi kehakiman dalam batin kita tentang perbuatan yang telah berlangsung.
2.                  Hati Nurani Prospektif
Hati nurani prospektif melihat ke masa depan dan menilai perbuatan-perbuatan kita yang akan datang. Dalam hati nurani prospektif aspek negatif nampak terlihat dan lebih mencolok. Hati nurani prospektif sebenarnya terkandung semacam ramalan. Ia menyatakan, hati nurani pasti akan menghukum andaikata melakukan perbuatan itu. Perbedaan antara hati nurani retrospektif dan hati nurani prospektif ini bisa menampilkan kesan seolah-olah hati nurani hanya menyangkut masa lampau atau masa depan. Padahal, hati nurani dalam arti yang sebenarnya justru menyangkut perbuatan yang sedang dilakukan.
2.2       Doa
Banyak orang beranggapan bahwa tidak mungkin untuk dirinya yang merupakan seorang yang berdosa dapat menjalin relasi baik dengan Tuhan melalui doa. Ada orang yang merasa rendah diri sehingga ia berpikir tidak adanya kemungkinan menjalin hubungan melalui doa. Orang yang berdosa bukan berarti menghilangnya hubungan dengan Tuhan, melainkan kehendak dan niat pribadilah yang berperan menciptakan relasi dengan Tuhan melalui doa. Sesungguhnya Tuhan telah mengampuni dosa-dosa mereka apabila mereka percaya kepada kehendak-Nya.[9] Saat manusia berada dalam permasalahan hidup, Ia memberikan jalan supaya manusia memohon pertolongan-Nya, yakni relasi baik dalam doa itu sendiri.
Banyak orang berdoa di dalam setiap budaya dan kepercayaan akan iman masing-masing. Bahkan terkadang orang yang tidak beriman sekalipun tertarik untuk meluangkan waktu dengan mengucap doa, entah itu hanya sebagai ucapan syukur, rasa kagum, atau sedang ada dalam saat-saat susah dan bermasalah. Doa dapat menjadi bagian dari tanggapan kita terhadap kerinduan yang menggelisahkan dan sebuah usaha pencapaian kepada kedalaman Tuhan dan diri kita sendiri untuk menemukan makna yang lebih besar serta kepenuhan hidup kita.[10]  
2.2.1    Pengertian Doa
Doa memiliki banyak arti dan pengertian yang berbeda-beda bagi setiap orang. Doa bisa jadi dipahami hanya sebagai kebiasaan, luapan syukur atas kebahagiaan, atau juga sebagai ucapan secara sepontan. Dalam pengertiannya doa berasal dari kata Arab du’a yang berarti “berkat permohonan atau tuntutan”.[11] Ketika manusia berdoa maka ia menerima berkat, menghadapkan permohonan, dan memberikan tuntutan. Dalam doa, manusia mengharapkan intervansi Tuhan namun doa sendiri tidak bersifat membebaskan manusia untuk tidak melakukan segala usaha. Doa menjadi kunci dasar seseorang menjalin relasi baik dengan Tuhan. Doa adalah hadir di dalam kehadiran Allah, sebab manusia mendekatkan dirinya kepada yang Ilahi.
2.2.1.1 Menurut Kitab Suci
Dalam Perjanjian Baru, doa adalah hubungan yang hidup anak-anak Allah dengan Bapanya yang tidak terhingga baiknya, bersama putra-Nya Yesus Kristus dan dengan Roh Kudus. Yesus merupakan seorang teladan sejati dalam hidup doa. Setiap harinya Ia meluangkan waktu, berada dalam kesunyian dan berdoa kepada Allah Bapa. Melalui doa, Yesus mendapatkan lagkah dan tuntunan dari Allah sebagai penunjuk jalan dan terang, sebab Allah akan menyertai Ia dalam masa pembebasan umat manusia dari kuasa dosa. Sebagai umat kristiani yang percaya pada Tuhan, selayaknya mampu untuk mengolah kata yang baik dalam berdoa dan mengetauhi kepada siapa doa itu disampaikan, seperti yang telah Yesus sendiri ajarkan dalam Injil Lukas 11:2-4;
“Apabila kamu berdoa, katakanlah: Bapa, dikuduskanlah nama-Mu. Berikanlah kami setiap hari makanan kami yang secukupnya dan ampunilah kami akan dosa kami, sebab kami pun mengampuni setiap orang yang bersalah kepada kami; dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan.”
Yesus adalah guru doa dan Ia membagi pengalaman-Nya sesuai apa yang dihayati-Nya. Maka Yesus memberikan hal yang paling mendasar mengenai doa[12], yaitu
Pertama, hendaknya berdoa secara pribadi di tempat yang sunyi, sepi, jauh dari keramaian yang tidak dapat dilihat oleh orang, karena di tempat yang penuh dengan keramaian sulit untuk berkomunikasi dalam doa. Kedua, Allah bukan pribadi yang jauh dengan hidup manusia, melainka pribadi yang dekat, sekaligus berada bersama manusia. Allah berada dimana saja, tidak terbatas oleh ruang dan waktu.
Kemudian, ketiga, Doa yang disampaikan hendaknya singkat atau pendek, sederhana, langsung pada inti yang dituju dan jangan bertele-tele.[13] Terlalu banyak permohonan mengakibatkan hilangnya inti pada doa yang dituju. Dengan lebih dekat pada-Nya, kita akan memberanikan diri untuk berbicara jujur dan lebih terbuka. Keempat, dengan berdoa Bapa Kami, seperti yang telah Yesus sendiri ajarkan kepada umat manusia. Seorang pendoa harus melakukan pemeriksaan batin dan mengakui kesalahan dan dosa-dosanya. Seperti seorang yang mengaku bersalah dan rendah hati karena akan menceritakan keluhan-keluhan dalam hidupnya.
Hal yang paling mendasar dalam doa ini, bukan semata-mata menjadi suatu keberhasilan dalam hidup doa, melainkan proses hidup doa ini akan sia-sia dan tidak berarti apabila tidak adanya kemauan dan iman dalam diri setiap pendoa. Relasi hubungan doa dengan Tuhan secara baik akan menguatkan kehidupan pribadi dalam perkembangan hidup rohani. Doa semata-mata tidak diucapkan untuk mencari kesempurnaan pribadi, sebab pada dasarnya doa merupakan ungkapan iman yang membawa kita untuk semakin beriman.[14] Yesus senantiasa setia mengajarkan kepada umatnya untuk bertekun dalam hidup doa, sebab doa mengajak manusia kepada pendalaman iman yang lebih akan Kristus.
2.2.1.2 Menurut Katekismus Gereja Katolik
Pada dasarnya setiap manusia melantunkan doa sebagai tahap memperoleh anugerah dari Tuhan. Kisah agung mengenai doa mencapai kesempurnaanya dalam diri Yesus.[15] Yesus selalu meluangkan waktu dengan berdoa. Dia berdoa sebelum menghadapi dan menjalani saat-saat penting yang akan terjadi dalam hidup-Nya. Dia juga berdoa dalam saat sedih dan sukacita saat bersama dengan murid-murid-Nya.
“Doa berarti mengangkat hati kita dan pikiran kita kepada Allah. Doa merupakan jawaban seluruh pribadi – jiwa, roh, hati, dan tubuh terhadap persahabatan dengan Allah. (Katekismus Gereja Katolik, No. 2558-2622).[16] Allahlah yang memanggil manusia untuk menjalin hubungan yang khusus dalam doa tergantung bagaimana setiap individu dalam menanggapi panggilan Allah tersebut. Di dalam doa manusia berusaha menyerahkan diri seperti anak kecil agar doa-doa dapat didengarkan dan agar doa-doa dapat berdaya guna. Maka dari itu manusia berusaha untuk tetap tekun dalam doa dengan tiga kebenaran yang memberikan hidup dan memberikan penjelasan mengenai doa: Pertama, kita dapat selalu berdoa di mana saja dan dalam situasi apapun. Kedua, doa adalah sesuatu yang penting dan mutlak perlu di dalam hidup kita. Ketiga, doa dan kehidupan Kristiani berpusat pada kasih Allah dan tidak dapat dipisahkan dalam hidup kita. [17]
            2.2.2    Bentuk-bentuk Doa
Bentuk-bentuk doa berkembang dalam Gereja perdana, yang berasal dari sumber-sumber-sumber Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, tetaplah harus dijadikan pedoman bagi kehidupan sekarang. Tradisi gereja menawarkan kepada umat beriman doa yang beriman secara berkala untuk menumbuhkan doa yang tetap. Dalam tradisi Kristen sendiri terdapat tiga bentuk pokok ungkapan kehidupan doa: doa lisan, doa renungan, dan doa batin.
1.                  Doa Lisan
Doa lisan merupakan doa yang berbentuk kata-kata, baik yang dipikirkan maupun yang diucapkan. Yesus sendiri mengajarkan murid-murid-Nya yang merasa tertarik dengan satu doa lisan, yakni doa Bapa Kami. Yesus tidak hanya mendoakan doa liturgi dalam  sinagoga, melainkan seperti yang telah ditunjukkan Injil kepada umat manusia. Ia sendiri mengangkat suara, mengucapkan doa pribadi-Nya. Doa yang Ia lantunkan terbentang dari memuji Bapa dengan penuh gembira, sampai kepada permohonan dalam sakratul maut di taman Getsmani.[18]
2.                  Doa Renungan
Doa renungan atau meditasi, pada dasarnya mengarah kepada keheningan. Meditasi adalah merenungkan, menalari, menggali, dan menganalisis sabda Tuhan hingga pesannya meresap ke dalam hidup dan hati untuk kemudian diungkapkan dalam doa. Meditasi adalah masuk ke dalam diri agar mampu menghadapi hidup secara utuh.[19] Sebagai umat Kritiani selayaknya manusia harus mampu mengolah hidupnya lebih-lebih dalam kehidupan bermeditasi secara teratur. Seseorang yang tidak dapat mengelola pribadinya dengan keheningan bermeditasi akan merasakan kekeringan iman. Ia akan menyerupai jalan yang berbatu yang penuh dengan duri-duri, sebagaimana dikatakan dalam perumpamaan seorang penabur.[20]
3.                  Doa Batin
St. Theresia menggambarkan doa batin sebagai “berbincang-bincang secara akrab dan seringkali dengan Dia, karena kita tahu bahwa Dia mencintai kita. Dalam doa batin, manusia mencoba mengatasi bentuk-bentuk doa yang lain dan berusaha mencapai hubungan yang akrab dengan Kristus sendiri melalui renungan. Doa batin adalah ungkapan misteri doa yang paling sederhana. Ia memandang Yesus dengan penuh iman, mendengarkan sabda Allah, dan mencintai tanpa banyak kata. Ia mempersatukan kita dengan doa Kristus, sejauh ia mengikutsertakan kita dalam misteri-Nya.[21]
 Manusia tidak selalu dapat bermeditasi, namun selalu ada kemungkinan untuk masuk ke dalam doa batin. Langkah untuk masuk ke dalam doa batin berada di bawah dorongan Roh Kudus, manusia mengarahkan diri dan seluruh kehendak hidup dengan sadar dalam kediaman Tuhan. Melalui permenungan batinlah manusia tergerak menghidupkan iman untuk masuk ke hadirat Tuhan.
             




[1] Dr. Yan van Paassen,”Suara Hati Kompas Kebenaran”, ( Jakarta: Obor, 2002), hlm. 2.
[2] Ibid., hlm. 7.
[3] Denis J. Billy dan James F. Keating,”Suara Hati dan Doa”, (Yogyakarta: Kaninisius, 2009), hlm. 21.
[4] Dr. Yan van Paassen, Op.Cit., hlm. 2.
[5] Ibid., hlm. 3.
[6] Konferensi Waligereja Regio Nusa Tenggara, Katekismus Gereja Katolik, No. 1778, Ende: Nusa Indah, 2001.
[7] KGK, No 1782.
[8] K. Bertens,”ETIKA”, (Jakarta: Gramedia, 2002), hlm. 54.
[9] Lih. Kis 10:43.
[10] Sue Mayfield, “Exploring Prayer”, (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm. 6.
[11] A. Heuken SJ, Ensklopedia Gereja, (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2004), hlm. 65.
[12] Alberto A. Djono Moi, “Menimba Kekuatan Doa”, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hlm. 43-46.
[13] Lih Mat 6:7
[14] Th. Aq. M. Rochadi Widagdo, “Pedoman Praktis Berdoa”, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 34.
[15] James A. Griffin,”Ikhtisar Katekismus Gereja Katolik”, (Jakarta: Obor, 2008), hlm. 118.
[16] Ibid., hlm. 117.
[17] Ibid., hlm 123.
[18] Katekismus Gereja Katolik, No 2701.
[19] Th. Aq. M. Rochadi Widagdo,”Meditasi itu Keheningan”, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 48.
[20] Katekismus Gereja Katolik, No 2707.
[21] Katekismus Gereja Katolik, No 2724.
s
'
g
o
l
B
h
i
l
a
G
l
e
a
k
i
M